Menuju Revolusi 4.0, Siap Cetak Petani Milenial

0
671
Petani Milenial

Jawa Barat menargetkan mencetak 1.000 petani milenial pada tahun 2021 ini. Meski tak mudah, target itu merupakan langkah strategis untuk membenahi sektor pertanian di provinsi yang terkenal subur tersebut.

Selama ini, petani muda merupakan barang langka di Indonesia, juga di Jawa Barat. Data Survei Pertanian Antar Sensus (SUTAS) 2018 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, 70 persen lebih petani Jawa Barat (yang jumlahnya tiga juta jiwa) berusia 45 tahun lebih, dengan mayoritas berpendidikan sekolah dasar (SD) ke bawah.

Usia yang cukup lanjut, dengan bekal pendidikan formal yang rendah itu, menyebabkan pertanian bergerak monoton. Petani cenderung mengolah lahan pertanian mengikuti kebiasaan lama, pola tradisional yang tertinggal dari sisi teknologi, tanpa menciptakan inovasi baru.

Faktor-faktor ini membuat sektor pertanian gagal mendongkrak produktivitas secara nyata. Pada akhirnya, ini berdampak pada tingkat kesejahteraan, dan menurunkan minat pemuda di Jawa Barat untuk terjun ke sektor pertanian.

Prasarana memadai, perilaku tak berubah
Pada 2020, Nilai Tukar Petani (NTP) Jawa Barat mencapai 100,41 atau naik 0,88 persen dari NTP 2019 yang mencapai 101,33. NTP merupakan indikator yang kerap digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani.

Nilai tukar pada dua tahun terakhir itu belum beranjak jauh dari NTP tahun dasar 2018 = 100. Artinya, harga komoditas pertanian (hasil yang diterima petani) dalam periode itu hanya sebanding dengan ongkos yang harus dibayar petani, baik untuk konsumsi maupun biaya produksi.

Ikhtiar untuk mendorong inovasi bukan tak ada. Bertahun-tahun, inovasi dikembangkan terutama dalam pola tanam, benih, dan alat-alat pertanian. Namun, penerapannya masih belum mampu mengubah perilaku petani menjadi lebih modern.

Padahal, ketersediaan prasarana di Jawa Barat cukup baik. Data Potensi Desa (2019) BPS mencatat, sekitar 5.300 dari 5.957 desa telah terhubung dalam jaringan komunikasi nirkabel. Hanya 10 persen desa yang jaringan sinyalnya belum memadai.

Pembangunan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) juga relatif baik. Indeks Pembangunan TIK Jawa Barat meningkat dari 5,63 menjadi 5,86 di tahun 2019, termasuk dalam kategori sedang.

Ketersediaan prasarana tersebut tampaknya belum dimanfaatkan petani Jawa Barat secara maksimal. Data SUTAS 2018 juga mencatat, hanya 10 petani di Jawa Barat yang menggunakan internet.

Petani Jawa Barat juga belum memanfaatkan platform perdagangan elektronik. Hasil pendataan e-commerce 2019 menunjukkan, pelaku e-commerce sektor pertanian hanya 0,24 persen, sedangkan pelaku di sektor perdagangan mencapai 48,04 persen.

Mempercepat difusi inovasi
Perubahan perilaku dan pola pikir petani tradisional agar mampu beradaptasi dengan kemajuan teknologi merupakan keniscayaan. Mau tak mau, revolusi industri 4.0 yang meminimalisir tenaga manusia dan memperbesar peran teknologi (baik mesin, aplikasi, bahkan robotik) tidak akan terelakkan – termasuk di sektor pertanian.

Kemampuan beradaptasi terhadap inovasi (dikenal dengan istilah difusi inovasi) dibagi dalam lima golongan.

Pertama innovators, yaitu 2,5 persen individu pertama yang mengadopsi inovasi. Kelompok ini ditandai dengan karakter petualang, berani mengambil risiko, mobile, cerdas, dan kemampuan ekonomi tinggi.

Kedua early adopters alias perintis atau pelopor. Kelompok ini merujuk pada 13,5 persen individu yang menjadi perintis dalam penerimaan inovasi. Mereka dicirikan sebagai para teladan, orang yang dihormati, dan memiliki akses yang tinggi.

Ketiga early majority atau pengikut dini yang merupakan 34 persen individu yang menjadi pengikut awal dengan ciri: penuh pertimbangan dan interaksi internal tinggi.

Keempat late majority atau pengikut akhir, yaitu 34 persen individu yang menjadi pengikut akhir, dengan ciri skeptis, menerima karena pertimbangan ekonomi atau tekanan sosial, dan terlalu hati-hati.

Terakhir kelompok laggards alias kaum kolot atau tradisional yang merujuk pada 16 persen individu dengan ciri: tradisional, terisolasi, wawasan terbatas, bukan opinion leaders, dan memiliki sumber daya terbatas.

Mencetak 1.000 petani milenial menjadi salah satu solusi untuk mempercepat dan mendorong difusi inovasi agar petani Jawa Barat lebih sigap dalam beradaptasi dengan revolusi industri 4.0.

Selain itu, program link and match antara pelaku e-commerce dan petani juga akan menjadi solusi lain yang tak kalah penting.

Keterkaitan petani dan e-commerce dapat mengurangi panjangnya rantai distribusi dari petani ke konsumen, sehingga petani dapat menerima harga yang lebih baik.

Catatan Redaksi: Penulis adalah statistisi madya BPS Provinsi Jawa Barat (Sumber: Lokadata.id)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here